Wednesday, February 13, 2013

T.I.N.I

Foto; Tini dan Rasyad


Namanya Tini. Tingginya sekitar 120-130 cm. Bahkan untuk ukuran orang Indonesia perawakannya termasuk pendek. Tubuhnya gempal, namun gerakannya lincah. Wajahnya ditutupi oleh kumpulan jerawat di area pipi dan dahinya.

Dari pengakuannya, Tini berusia 27 tahun. Memiliki satu anak lelaki yang duduk di kelas dua SD dan tinggal hanya berdua dengan kakeknya di Bogor, Jawa Barat. Saat pertama kali ia datang ke rumah, saya punya perasaan baik tentangnya. Wajahnya terlihat ramah, dengan suara sabar yang menenangkan anak kecil. Tingkah lakunya sopan, dan sangat gesit dalam melakukan pekerjaan rumah. Begitulah awal perjumpaan kami dengan Tini tiga bulan yang lalu. Saya menaruh harapan besar kepadanya untuk menjadi bagian dari keluarga mungil kami.

Suatu hari setelah ia bekerja selama dua bulan, secara tidak sengaja saya menemukan ia "menyimpan" tiga setel pakaian baru Rasyad dan plastik hitam yang di dalamnya adalah mainan-mainan Rasyad. Bukannya saya sengaja mengacak-acak lemarinya, tapi kebetulan lemari yang ia gunakan menjadi satu dengan tempat saya menyimpan segala macam handuk, seprai dan gorden. Walau pun hati serasa jatuh dan kecewa sekali, saya masih dapat bersikap tenang. Saat ditanya, jawabnya adalah ia memindahkan pakaian-pakaian tersebut karena lemari Rasyad yang telah penuh. Tanpa banyak omong saya langsung memindahkan kembali baju-baju tersebut ke lemari Rasyad dan berpesan untuk tidak merubah apa pun jika tidak diminta.

Sempat dua hari menyimpan kejadian tak menyenangkan itu dalam hati (because God knows how my husband will react), akhirnya saya menumpahkan segala resah kepadanya. Sepetinya si ayah tidak terkejut karena ia malah berkata kalau ia juga sedang 'menguji' asisten rumah tangga (ART) kami itu. Jadi, ia sengaja memberikan Rasyad uang jajan Rp 10,000 per hari, dengan asumsi uang itu tidak akan habis sebelum dua atau tiga hari berlalu. Tapi yang terjadi adalah uang itu habis setiap hari, entah dibuat jajan apa. Kenapa si ayah curiga, karena saat orang tuanya ada saja Rasyad tidak pernah jajan melebihi lima ribu rupiah di rumah. Nah, jadi kemana sisa dari uang itu ya?

Atas kejadian itu, si ayah meminta saya untuk menegur Tini dan memastikan kejadian itu tak terulang lagi. Tapi, tak sampai hati saya memberinya peringatan. Sebagai seorang ibu saya bisa turut berempati walau sangat tidak setuju dengan caranya. Saya pun hanya memberikan wejangan dan mengingatkannya tentang komitmen awal yang kami minta, yaitu untuk bersikap jujur dan melapor jika butuh apa saja.

Setelah itu, saya berusaha untuk mulai mempercayainya lagi dengan tetap memberikan pengawasan ekstra. Saya selalu percaya bahwa semua orang pantas untuk mendapatkan kesempatan kedua. Si Ayah, yang memang lebih skeptis dari saya, tetap berpendapat bahwa yang dilakukan Tini bukanlah kebetulan tapi sudah merupakan karakter. Tapi, as cliche as it may sounds, siapa sih yang mau kehilangan ART? God, cari ART sekarang itu lebih susah dari cari jodoh :). Ini juga yang membuat banyak majikan 'tutup mata' atau menyangkal jika mereka menemukan ada keanehan dalam diri ART mereka. Terlihat maupun terasa.

Tapi Tuhan tidak pernah tidur. Sekitar dua minggu lalu terbongkarlah semua kebusukan orang ini tanpa saya perlu mencarinya. Saat itu Sabtu pagi saya hendak mengambil ember kecil di kamar mandi satu-satunya di rumah imut kami itu. Di salah satu tumpukan ember-ember itu ternyata ada tumpukan baju Tini yang belum dia cuci. Tapi  ketika saya perhatikan baik-baik, di antara baju tersebut ternyata ada pakaian Rasyad. Karena saya tahu Tini paham kalau pakaian kami bertiga tidak boleh dicampur dengan punyanya, saya bertanya kenapa sampai ada celana pendek Rasyad di antara miliknya. Ia tidak menjawab dan hanya berkata bahwa akan segera ia cuci. Namun entah kenapa saya lalu memperhatikan lebih dekat celana Rasyad itu. Terkejutlah saya karena ternyata celana pendek kecil itu penuh dengan noda merah. Karena curiga saya mencoba melihat lebih dekat. Saat itulah tercium bau anyir darah.

Saya langsung bertanya apakah ia tengah "datang bulan" dan  memintanya untuk bersikap jujur. Tapi ia berkilah, bahkan berani bersumpah atas nama Tuhan kalau saat itu ia sedang tidak menstruasi. Saya tahu ia berbohong, dan karena merasakan alirah darah sudah hampir ke kepala dan meledak, langsung menyuruhnya untuk membungkus celana itu dan membuangnya. Namun beberapa menit kemudian, setelah sempat cooling down, nalar mulai berjalan normal kembali. Saya mencoba menelaah kejadian barusan dan teringat bahwa sepertinya tadi bukan hanya celana Rasyad yang ada di tumpukan baju Tini. Saya minta ia untuk membuka lagi kantong plastik yang saat itu sudah ada di tempat sampah, untuk memastikan. Ketika plastik dibuka, astagfirullah, ada CD suami saya yang juga penuh darah.

Rasanya saat itu muka saya disiram air panas. Mendidih. Tini masih terus menyangkal. Akhirnya ia saya minta masuk kamar. Saya ikuti ia ke kemarnya, dan saya kunci pintu. Sekali lagi saya minta secara baik-baik ia untuk mengaku dan menunjukkan bukti kalau ia sedang tidak haid. Ia kekeh sumekeh. Akhirnya setengah memaksa (this is not my best behavior. But believe me, behavior is the least in mind when you're dealing with this kind of person), saya raih celana pendeknya. Namun ia lebih gesit. Kami seperti sedang gelut saat itu. Ketika pada satu kesempatan bagian belakang celananya tersingkap sedikit,..... that's it. Something inside me snap. Ia TENGAH MEMAKAI CD suami saya! Saat itulah saya memanggil (berteriak lebih tepatnya) si ayah. Saya minta ia menelpon agen penyalur yang membawa Tini ke rumah kami untuk membawanya pergi.

Singkatnya, walaupun bukti-bukti sudah terpampang ia tetap berkilah hingga akhirnya si Ayah mengancam untuk menyeretnya ke kantor polisi. Mendengar kata polisi Tini akhirnya mengakui semua kelakuannya sambil menangis. Tapi akhirnya ia kami kembalikan ke agennya. Sebelum ia pergi semua barangnya saya bongkar dan saya sudah tidak terkejut lagi saat menemukan beberapa barang yang seharusnya tidak ada di situ.

Kejadian dengan Tini terus menghantui saya hingga akhirnya kami memutuskan untuk tidak menggunakan jasa ART untuk sementara waktu. Mudah-mudahan hanya saya saja yang jadi korbannya. Masalahnya bukan pada sisi materialnya, tapi lebih ke trauma spiritualnya. And it makes me wonder the things she would have done while she's alone with my son, or when she's alone at home.

January 2013