Wednesday, May 14, 2014

PERMISI, TERIMA KASIH




“Wah, Rasyad sopan banget ya! Kalau mau main ke rumah pasti bilang Assalamualaikum.”, lapor salah satu tetangga tempo hari. Saya cuma tersenyum dan bersyukur dalam hati. Hamdalah, pelajaran sopan santun yang kami tanamkan pada Rasyad (4) sejak kecil berbuah manis. Tidak hanya fasih mengucapkan salam, Rasyad juga telah terbiasa berkata tolong, permisi dan terima kasih dalam kesehariannya.

Semenjak gadis dulu saya memang terkesan sekali dengan budi pekerti yang ditunjukkan oleh teman-teman berkebangsaan lain. Kebetulan saya memang aktif di olah raga hockey yang peminatnya di Jakarta ini banyak orang asingnya. Jika diperhatikan, tata krama sepertinya menjadi hal yang dijunjung tinggi oleh mereka. Pernah suatu ketika saya meminta sekaleng minuman pada Matt, kawan dari Australia, responnya waktu itu adalah, “What’s the magic word?”. Mengertilah saya bahwa ia meminta saya untuk mengucapkan kata ‘tolong’ terlebih dulu.

Momen itu begitu melekat di ingatan saya dan membuat saya mengevaluasi seluruh pelajaran yang telah saya terima dari orang tua, guru dan lingkungan. Apa yang salah? Kita telah mengenal kata-kata ‘maaf’, ‘tolong’, ‘permisi’, dan ‘terima kasih’ sejak kecil dulu, namun beranjak dewasa semuanya tidak menelurkan suatu sikap yang melekat. Kata-kata tersebut terhenti di bibir. Akibatnya kita saat ini bagaikan hidup di tengah masyarakat yang kekurangan adab. 

Masih segar diingatan kita kisah seorang mahasiswi yang tetiba menjadi selebriti di media sosial (medsos) setelah ia menggugah penolakan untuk memberikan kursinya di kereta api kepada penumpang lain, yang kebetulan sedang hamil. Besarnya kebencian yang ditunjukkannya melalui akum medsosnya menjadikan ia public enemy. Sebagai seorang manusia, logikanya seharusnya mudah. Selesai belanja kita antri untuk membayar, yang lebih pintar membagikan ilmunya kepada yang belum paham, trotoar adalah hak pejalan kaki, dan mendahulukan orang tua, yang sakit, anak kecil serta ibu hamil di transportasi umum. Jadi kembali lagi, apa yang salah?  


Saya yakin orang tua mahasiswi tersebut sudah mengajarkan tentang moral ketika ia kecil. Namun apakah pelajaran tersebut hanya menjadi hapalan, ataukah melekat di dalam diri sehingga terwujud melalui sikap dan perilaku, sepertinya masyarakat telah menilai.

Ayah Eddy, seorang praktisi Multiple Intelligence and Holistic Learning dalam blognya pernah menceritakan pengalamannya berkaitan dengan pendidikan moral ini. “Seorang guru di Australia pernah berkata kepada saya, “Kami tidak terlalu khawatir jika anak-anak sekolah dasar kami tidak pandai matematika. Kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantri”’. Ketika ditanya mengapa mengantri, mereka menjawab karena ternyata hanya membutuhkan waktu tiga bulan untuk mengajarkan anak matematika, tapi perlu waktu 12 tahun untuk belajar mengantri dan memetik pelajaran di baliknya.

Kembali lagi kepada Rasyad, perjalanan baru dimulai. Pasti menjadi keinginan setiap orang tua melihat anaknya tumbuh dan berkembang menjadi manusia pintar dan kaya. Namun yang lebih penting lagi, adalah kewajiban setiap orang tua memastikan anaknya menjadi manusia baik.

2 comments:

  1. Atie, thank you sayang. You are, I'm sure, a great mom. Big apology karena belum nengokin si cantik Aubrey.

    ReplyDelete