“Wah, Rasyad
sopan banget ya! Kalau mau main ke rumah pasti bilang Assalamualaikum.”, lapor
salah satu tetangga tempo hari. Saya cuma tersenyum dan bersyukur dalam hati.
Hamdalah, pelajaran sopan santun yang kami tanamkan pada Rasyad (4) sejak kecil
berbuah manis. Tidak hanya fasih mengucapkan salam, Rasyad juga telah terbiasa
berkata tolong, permisi dan terima kasih dalam kesehariannya.
Semenjak gadis
dulu saya memang terkesan sekali dengan budi pekerti yang ditunjukkan oleh
teman-teman berkebangsaan lain. Kebetulan saya memang aktif di olah raga hockey
yang peminatnya di Jakarta ini banyak orang asingnya. Jika diperhatikan, tata
krama sepertinya menjadi hal yang dijunjung tinggi oleh mereka. Pernah suatu
ketika saya meminta sekaleng minuman pada Matt, kawan dari Australia, responnya
waktu itu adalah, “What’s the magic word?”. Mengertilah saya bahwa ia meminta
saya untuk mengucapkan kata ‘tolong’ terlebih dulu.
Momen itu
begitu melekat di ingatan saya dan membuat saya mengevaluasi seluruh pelajaran
yang telah saya terima dari orang tua, guru dan lingkungan. Apa yang salah?
Kita telah mengenal kata-kata ‘maaf’, ‘tolong’, ‘permisi’, dan ‘terima kasih’
sejak kecil dulu, namun beranjak dewasa semuanya tidak menelurkan suatu sikap
yang melekat. Kata-kata tersebut terhenti di bibir. Akibatnya kita saat ini
bagaikan hidup di tengah masyarakat yang kekurangan adab.
Masih segar diingatan kita
kisah seorang mahasiswi yang tetiba menjadi selebriti di media sosial (medsos) setelah
ia menggugah penolakan untuk memberikan kursinya di kereta api kepada penumpang
lain, yang kebetulan sedang hamil. Besarnya kebencian yang ditunjukkannya
melalui akum medsosnya menjadikan ia public
enemy. Sebagai seorang manusia, logikanya seharusnya mudah. Selesai belanja
kita antri untuk membayar, yang lebih pintar membagikan ilmunya kepada yang
belum paham, trotoar adalah hak pejalan kaki, dan mendahulukan orang tua, yang
sakit, anak kecil serta ibu hamil di transportasi umum. Jadi kembali lagi, apa
yang salah?
Saya yakin
orang tua mahasiswi tersebut sudah mengajarkan tentang moral ketika ia kecil.
Namun apakah pelajaran tersebut hanya menjadi hapalan, ataukah melekat di dalam
diri sehingga terwujud melalui sikap dan perilaku, sepertinya masyarakat telah
menilai.
Ayah Eddy,
seorang praktisi Multiple Intelligence
and Holistic Learning dalam blognya pernah menceritakan pengalamannya
berkaitan dengan pendidikan moral ini. “Seorang guru di Australia pernah
berkata kepada saya, “Kami tidak terlalu khawatir jika anak-anak sekolah dasar
kami tidak pandai matematika. Kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai
mengantri”’. Ketika ditanya mengapa mengantri, mereka menjawab karena ternyata
hanya membutuhkan waktu tiga bulan untuk mengajarkan anak matematika, tapi perlu
waktu 12 tahun untuk belajar mengantri dan memetik pelajaran di baliknya.
Kembali lagi
kepada Rasyad, perjalanan baru dimulai. Pasti menjadi keinginan setiap orang
tua melihat anaknya tumbuh dan berkembang menjadi manusia pintar dan kaya.
Namun yang lebih penting lagi, adalah kewajiban setiap orang tua memastikan
anaknya menjadi manusia baik.
Nice one Ka Ika :)
ReplyDeleteAtie, thank you sayang. You are, I'm sure, a great mom. Big apology karena belum nengokin si cantik Aubrey.
ReplyDelete