Semuanya bermula tidak lama setelah ia lahir. Ia selalu memiliki ketertarikan yang besar kepada air. Aku ingat suatu hari ketika kami memandikannya di bak (pada saat itu aku tidak memiliki keberanian untuk melakukannya sendiri, jadi memandikannya adalah tugas ‘beregu’ aku, mamaku, dan sepupuku), ia mengepak-ngepakkan tangannya ke air seperti hendak terbang, dan menendang-nendangkan kakinya sehingga seluruh ruangan menjadi penuh dengan ceceran air. Ia tertawa-tawa dengan suara kecilnya, terlihat sangat bahagia. Umurnya saat itu baru dua bulan.
Saat melihat itu semua aku berjanji kepadanya dalam hati, janji yang sebenarnya lebih kutujukan kepada diri sendiri, bahwa aku akan mengajaknya bermain hujan-hujanan pada saat ia berusia setahun nanti. Janji itu sendiri merupakan hal yang egois karena aku mau menjadi satu-satunya manusia yang memperkenalkan kehidupan dan dunia ini kepadanya. Bagiku tak ada manusia lain yang sepertinya pantas untuk melakukan hal tersebut, bahwa mereka hanya akan menodai ingatan anakku akan kehidupan. Sebenarnya adalah aku tak lebih baik dari semua manusia lain. Hanya saja aku terlalu mencintai lelaki kecil ini sampai aku tak kuasa membayangkan ada orang-orang lain mengisi kehidupannya. Seperti yang kubilang, ini adalah hal yang egois.
Ia lalu tumbuh menjadi anak yang sehat dan sangat aktif, dan kecintaannya akan air kian berkembang. Karena itu Sabtu kemarin aku melanggar sumpahku sendiri. Aku bawa ia ke dalam perjalanan yang selalu dirindukan manusia-manusia dewasa, perjalanan yang membuat sebagian anak kecil lain iri. Sesuatu yang sudah lama sekali aku tinggalkan (mungkin karena hal-hal yang mengiringi saat kita menjadi ‘dewasa’) dan sangat kurindukan. Aku mengajaknya untuk bermain hujan-hujanan.
Hari itu hujan turus sangatlah derasnya sehingga kami tidak bisa bermain di luar. Maka kutaruh ia di pintu kecil (Ayahnya menaruh kayu tebal setengah ukuran pintu yang berfungsi sebagai pintu geser untuk mencegah tikus-tikus masuk), di mana ia masih bisa melihat dan merasakan hujan. Ia menjangkaukan tangannya jauh seakan-akan ingin menyentuh air yang turun dari langit itu. Matanya berkerjap-kerjap terkena percikannya. Ia lalu menjadi sangat bersemangat sampai berteriak-teriak dan tertawa-tawa sambil melihatku dengan mata bulatnya. Seketika aku merasakan suatu sensasi dari dalam hatiku. Saat itulah aku langsung menggendongnya dan membawanya ke luar. Sambil memeluknya erat aku bawa ia menari di bawah air hujan. Nyanyianku mungkin saja kalah keras dari derasnya hujan yang turun, tapi aku tahu ia bisa mendengarnya. Aku tahu anakku dapat mendengar hatiku yang sedang bernyanyi dan menjanjikan bahwa aku tidak akan pernah melepaskan pelukanku. Bahkan saat hujan datang dan pergi, aku akan tetap berada di sini. Bahkan jika hidup akan menjadi sulit nantinya, aku akan tetap berada di sampingnya.
Anakku, hidup bukanlah persoalan menunggu kapan badai akan berlalu, hidup adalah tentang bagaimana kita bisa menari di tengah hujan.
Bunda sayang Rasyad.
No comments:
Post a Comment